Scroll Terus, Cemas Terus: Mental Remaja Retak di Era Digital dan Krisis Iklim

Kesehatan mental sering dianggap urusan pribadi — sesuatu yang bisa diselesaikan dengan “lebih banyak bersyukur” atau “kurangi main HP.” Tapi realitanya jauh lebih rumit. Terutama bagi remaja Indonesia yang tumbuh di era serba digital, penuh kompetisi sosial, dan kini diperparah dengan ancaman krisis iklim yang makin nyata.

Masalahnya, tekanan ini sering kali tak terlihat — dan lebih sering lagi, tak dianggap penting.

---

Angka yang Mengerikan Tapi Masih Sering Diabaikan

Menurut hasil survei bersama BKKBN dan WHO Indonesia (2025) terhadap 6.000 remaja di 15 provinsi, 1 dari 3 remaja mengalami gangguan psikologis ringan hingga sedang, termasuk kecemasan kronis, kelelahan mental, dan gejala depresi.

Lebih dari 60% responden mengaku tidak tahu harus ke mana jika mengalami gangguan kesehatan mental. Dan hanya 9% yang pernah mendapat konseling profesional — sebagian besar karena layanan psikolog di sekolah/kampus nyaris tidak tersedia.

---

Digital Life: Terkoneksi Tapi Terisolasi

Media sosial yang seharusnya jadi tempat berekspresi justru sering jadi sumber tekanan. Budaya perbandingan tanpa akhir, standar hidup “sempurna” di TikTok & Instagram, dan ekspektasi pencapaian membuat banyak remaja merasa kalah sebelum bertanding.

Efeknya bukan cuma FOMO (fear of missing out), tapi juga burnout digital: kelelahan mental karena terlalu sering terpapar tuntutan tidak realistis.

---

Eco-Anxiety: Cemas Terhadap Masa Depan yang Tak Jelas

Tambahkan krisis iklim ke dalam campuran ini — maka tekanan mental jadi berlipat.

Remaja hari ini tidak hanya menghadapi ujian sekolah atau pilihan jurusan kuliah, tapi juga kekhawatiran eksistensial tentang masa depan bumi. Di TikTok, tagar #ecoanxiety sudah tembus 15 juta views secara global, dan tren ini juga muncul di Indonesia.

Studi dari Universitas Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 48% remaja di kota besar mengalami kecemasan jangka panjang terkait lingkungan, terutama setelah bencana iklim (banjir, kebakaran hutan, cuaca ekstrem).

---

Kurangnya Dukungan, Minimnya Kebijakan

Sayangnya, perhatian kebijakan publik belum menyentuh persoalan ini secara serius. Kesehatan mental masih jadi bagian kecil dalam RUU Kesehatan, dan pendidikan mental–emosional belum terintegrasi dalam kurikulum sekolah nasional.

Sekolah-sekolah banyak yang tidak punya psikolog atau konselor tetap. Bahkan di kota besar, satu guru BK bisa menangani lebih dari 300 siswa — jauh dari standar WHO (1:50).

Kesehatan mental remaja bukan “drama” atau “fase remaja biasa.” Ini realitas struktural yang muncul dari zaman yang penuh tekanan, koneksi semu, dan masa depan yang terasa rapuh.

Jika kita terus abai, bukan cuma remaja yang menderita — tapi masa depan bangsa yang ikut tergerus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Raja Ampat Dikorbankan: Surga Laut Dunia yang Terancam Tambang Nikel

Stop Normalisasi Merokok di Dekat Non-Perokok: Karena Risiko Kesehatan Mereka Justru Lebih Besar